Kondisi Daging Kultur di Asia
This post has been translated from English to Indonesian. You can find the original post here. Thanks to Tipping Point Private Foundation for generously funding this translation work.
Asia memiliki populasi besar yang mengonsumsi lebih banyak daging, sehingga merupakan pasar potensial yang sangat besar untuk daging kultur. Meskipun pasar Asia hanya menyumbang 4,5% dari investasi daging kultur di dunia, Asia merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan tercepat untuk investasi dalam penelitian daging kultur. Pada tahun 2021, $312 juta diinvestasikan untuk protein alternatif di kawasan Asia Pasifik. Sekitar 20% didedikasikan untuk daging kultur, yang hampir 50% lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Untuk lebih memahami kondisi daging kultur di seluruh Asia, para peneliti melakukan tinjauan literatur dan mencari tema dan masalah utama. Sejak tahun 2015, ketika karya tulis Asia pertama tentang daging kultur diterbitkan, jumlah publikasi per tahun meningkat tajam. Lebih dari separuh karya tulis adalah artikel penelitian asli. Sebagian besar karya tulis adalah tentang sains dan teknologi, terutama pengembangan cell line, langkah pertama dalam produksi daging kultur. Universitas, pemerintah dan lembaga penelitian telah mendirikan pusat penelitian dan program studi yang berfokus pada protein alternatif dan daging kultur.
Kajian ini menemukan bahwa Singapura menonjol sebagai pemimpin dalam kebijakan dan regulasi daging kultur. Kebijakan “30 x 30”, yang bertujuan agar Singapura dapat menyediakan 30% dari kebutuhan gizinya pada tahun 2030, memberdayakan pemerintah untuk mendanai organisasi yang memajukan teknologi pangan. Singapura masih menjadi satu-satunya negara di dunia yang telah menyetujui penjualan komersial daging kultivasi, yang dilakukan pada tahun 2022. Namun, pemerintah Singapura masih menyetujui produk daging kultur berdasarkan kasus per kasus. Peraturan serupa yang berfokus pada daging kultur sedang berlangsung di Jepang dan Korea Selatan. Pemerintah China telah membuat pernyataan positif tentang daging kultur, tetapi tidak memiliki kerangka kerja peraturan yang komprehensif.
Para penulis juga mencatat bahwa negara-negara Asia memiliki pasar daging kultur yang berbeda dengan negara lain. Sebagai contoh, negara-negara Asia memiliki fokus yang lebih besar dalam memproduksi daging kultur dari hewan akuatik dibandingkan dengan wilayah lain, mungkin karena konsumsi hewan-hewan ini yang lebih tinggi. Menurut para penulis, negara-negara Asia juga memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap makanan baru dibandingkan dengan negara-negara Barat. Penelitian telah menunjukkan bahwa tingkat penerimaan daging kultur lebih tinggi di Cina dan Singapura dibandingkan di Amerika Serikat.
Kolaborasi dan berbagi kemajuan teknis sangat penting untuk meningkatkan daging kultur di Asia. Sebagai contoh, perusahaan daging kultur di Asia telah bermitra dengan perusahaan-perusahaan Barat untuk berbagi pengetahuan. Perusahaan daging kultur Barat bekerja sama dengan produsen makanan Asia yang dapat menjual produk mereka dengan lebih mudah di pasar Asia. Jika perusahaan dan peneliti Asia dapat memanfaatkan inovasi di Barat (dan sebaliknya), maka para penulis percaya bahwa daging kultur akan lebih cepat sampai di piring kita.