Kesejahteraan Ikan: Siapa yang Kami Bantu Pertama?
[This post has been translated from English to Indonesian. You can find the original post here. This translation was made possible with support from World Animal Protection courtesy of a grant from the Open Philanthropy Project.]
Mempelajari tentang sesuatu yang luas seperti “kesejahteraan ikan” sama seperti mempelajari tentang “kesejahteraan mamalia”—tikus dan gajah memiliki kebutuhan makanan, air, dan tempat tinggal yang sangat berbeda. Dengan konsep yang sama, spesies ikan yang berbeda memiliki kebutuhan suhu, pH, dan kadar oksigen dalam air yang berbeda juga. Meskipun kita membudidayakan puluhan miliar ikan per tahun, kita hampir tidak tahu faktor paling mendasar yang berkontribusi pada kesejahteraan mereka. Dalam makalah ini, para peneliti di Fish Welfare Initiative mempelajari tentang faktor-faktor ini, serta peningkatan kesejahteraan yang paling efektif untuk beberapa spesies yang berbeda.
Para peneliti memulainya dengan memeriksa 26 negara berbeda di mana peternakan ikan beroperasi. Mereka mengevaluasi negara-negara ini berdasarkan beberapa kriteria, seperti kemudahan dalam memulai organisasi kesejahteraan baru, kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah daerah, dan sikap masyarakat terhadap kesejahteraan ikan. Mereka menemukan enam negara yang tampak menjanjikan untuk peningkatan kesejahteraan: India, Bangladesh, Vietnam, Indonesia, Taiwan, dan Filipina.
Para peneliti mempersempit fokus mereka lebih jauh pada ikan yang paling umum dibudidayakan di negara-negara ini: catla, lele belang, rohu, nila nil, bandeng, dan lele berbentuk torpedo. Ikan-ikan ini dibudidayakan dalam jumlah besar karena mereka dapat bertahan hidup dalam kondisi yang keras. Namun, hal ini berarti bahwa mereka tidak akan mati dengan mudah karena kondisi mereka, juga bukan berarti mereka tidak akan menderita. Peningkatan kesejahteraan ikan tidak hanya berarti menjaga mereka tetap hidup—tetapi mencegah mereka dari penderitaan juga.
Para peneliti kemudian melihat lima faktor berbeda untuk menentukan spesies mana yang paling diuntungkan dari peningkatan kesejahteraan: sensitivitas, kondisi hidup yang buruk, total populasi ikan yang dibudidayakan, pengabaian, dan traktabilitas (kemudahan pengendalian). Mereka menyebut traktabilitas sebagai hal yang paling penting—sebuah intervensi dianggap mudah jika ada bukti kuat bahwa intervensi tersebut dapat membuat kemajuan menuju kesejahteraan yang lebih baik. Para peneliti juga sengaja mengabaikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan untuk merasakan sesuatu. Salah satu tujuan mereka adalah untuk membantu membentuk masa depan penelitian kesejahteraan ikan, dan mereka tidak ingin menyarankan bahwa kita harus memeriksa kemampuan setiap spesies untuk merasakan sesuatu sebelum mempelajari peningkatan kesejahteraan mereka. Kemampuan ikan untuk merasakan sesuatu masih diperdebatkan di beberapa bagian komunitas ilmiah, tetapi pembuktiannya seharusnya tidak menjadi persyaratan.
Para peneliti kemudian menerapkan model faktor berbobot, di mana setiap faktor diberi bobot yang berkontribusi pada skor akhir. Misalnya, “kemudahan” diberi bobot 25% dan “kondisi kehidupan yang buruk” diberi bobot 20%, yang menunjukkan bahwa traktabilitas sedikit lebih penting untuk meningkatkan kesejahteraan. Lebih khususnya lagi, waktu yang dihabiskan untuk meneliti traktabilitas dianggap sedikit lebih berharga daripada waktu yang dihabiskan untuk meneliti kondisi kehidupan. Berdasarkan penelitian lebih lanjut, mereka memberikan skor dari satu hingga tiga untuk setiap faktor pada setiap spesies. Misalnya, ikan bandeng diberi skor tiga untuk faktor “kondisi hidup yang buruk”, yang menunjukkan bahwa kondisi hidup ikan bandeng sangat buruk. Untuk menerapkan bobot ini, mereka menghitung skor keseluruhan untuk setiap spesies yang akan digunakan untuk menentukan seberapa efektif intervensi kesejahteraan tersebut nantinya. Anda dapat menemukan tautan ke semua perhitungan tersebut di sini. Hasil mereka menunjukkan bahwa ikan catla kemungkinan akan mendapat manfaat paling besar dari intervensi kesejahteraan karena terdapat jumlah besar ikan catla yang dibudidayakan (diperkirakan berkisar antara 1,5 hingga 9,9 miliar ikan pada tahun 2018) dan kondisi kehidupan mereka yang buruk di peternakan ikan pada umumnya.
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa tidak banyak informasi tentang kondisi kesejahteraan di peternakan ikan yang tersedia. Petani ikan jarang mendokumentasikan dan mempublikasikan kondisi peternakan mereka, dan hanya terdapat beberapa penelitian tentang kondisi sesederhana suhu air optimal untuk spesies tertentu. Daripada membuat panduan definitif terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan ikan, para peneliti berharap bahwa pekerjaan mereka akan membantu membawa lebih banyak perhatian pada penyebab kesejahteraan ikan yang belum dipelajari. Ketika semakin banyak organisasi yang mulai meneliti kesejahteraan ikan, kita akan memiliki gambaran yang jauh lebih baik tentang kondisi kehidupan ikan yang sehat, dan dapat menyusun intervensi advokasi yang tepat.
