Advokasi Untuk Membentuk Budidaya Ikan Asia
[This post has been translated from English to Indonesian. You can find the original post here. This translation was made possible with support from World Animal Protection courtesy of a grant from the Open Philanthropy Project.]
Negara-negara Asia memproduksi sebagian besar produk ikan di dunia. Banyak dari ikan tersebut dibesarkan di peternakan yang di mana, sama dengan tempat lain di dunia, memiliki kekurangan pada pelatihan, sumber daya, dan peraturan sehingga menciptakan kondisi ikan yang tidak manusiawi. Sementara setiap negara memiliki peluang sendiri untuk melakukan intervensi dan tantangannya sendiri, mereka semua siap untuk meningkatkan produksi ikan dalam waktu dekat, mengalihkan produksi dari peternakan skala kecil ke operasi industri skala besar. Hal ini sangat mendesak para advokat untuk segera bertindak sekarang dalam konteks lokal mereka sementara industri tersebut masih dalam tahap pembentukan.
Fish Welfare Initiative (FWI) telah menerbitkan laporan yang, meskipun tidak ditinjau oleh rekan sejawat, menggabungkan data dan temuan dari PBB, laporan pemerintah, lusinan studi akademis yang ditinjau oleh rekan sejawat, percakapan dengan para ahli di lapangan, dan kunjungan lokasi FWI ke peternakan di India dan Vietnam. Karena lima produsen terbesar berada di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara, maka laporan ini berfokus pada wilayah-wilayah tersebut.
Laporan tersebut menemukan bahwa sebagian besar ikan budidaya Asia dibesarkan di peternakan keluarga berukuran kecil yang terletak di sawah, kolam, atau kandang di perairan terbuka. Banyak dari para pembudidaya merasa tertarik pada industri ini karena industri ini menjanjikan keuntungan, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan dan pelatihan untuk memelihara kondisi yang sehat bagi ikan yang mereka pelihara. Daripada membeli pakan komersial mahal yang telah diformulasikan secara tepat, mereka mungkin saja membuatnya sendiri. Hal ini dapat membuat ikan mengalami kekurangan gizi, menyebabkan stres, agresi, dan penyakit, atau membuat air terlalu tersaturasi, menyebabkan kualitas air menjadi buruk dan melumpuhkan sistem imun ikan. Petani seringkali kekurangan teknologi untuk memantau kualitas air atau mendeteksi wabah penyakit atau parasit. Di negara berkembang di mana pembudidaya ikan terkadang menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan kerawanan pangan, kesejahteraan ikan tidak selalu menjadi prioritas utama mereka.
Untuk menambah lagi masalah tentang petani yang kekurangan sumber daya, ada kekurangan undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan ikan secara luas, dan undang-undang yang ada biasanya tidak jelas dan sulit untuk ditegakkan. Hal ini berarti ikan tidak hanya dibesarkan dalam kondisi yang tidak sehat, tetapi juga diangkut secara tidak aman, menderita stres dan cedera, dan dibantai secara tidak manusiawi dengan cara direndam dalam rendaman garam, dipotong insangnya, atau dibiarkan mati lemas. Beberapa ikan bahkan dibunuh di pasar, yang menyebabkan penderitaan yang tidak perlu dan berkepanjangan sebelum dibantai, atau dimakan atau direbus saat masih hidup, karena preferensi kuliner. Ada lembaga sertifikasi yang beroperasi di Asia yang berusaha untuk memastikan standar pertanian yang tinggi, tetapi fokus mereka adalah pada keamanan pangan, bukan kesejahteraan hewan. Bagaimanapun, petani skala kecil umumnya tidak mampu untuk melakukan sertifikasi, dan jika mereka melakukannya, sertifikasi tersebut tidak mengikat secara hukum, yang menyebabkan meluasnya skeptisisme di antara konsumen di Asia tentang pelabelan sertifikasi. Banyak peternakan yang tidak dapat memenuhi standar sertifikasi untuk ekspor global dan akhirnya mereka menjualnya secara lokal atau mengekspor ke negara-negara Asia lainnya yang persyaratannya tidak terlalu ketat.
Situasi untuk ikan ini dinilai sangat buruk, tetapi sekarang adalah jendela peluang yang tepat bagi para advokat hewan untuk campur tangan. Fakta bahwa undang-undang bersifat tidak jelas dan terbuka untuk ditafsirkan sendiri oleh hakim, yang keputusannya akan membentuk undang-undang di masa depan, yang berarti bahwa mendidik hakim akan menghasilkan dampak yang lebih luas. Proyeksi pertumbuhan dramatis akuakultur di Asia dalam beberapa dekade mendatang berarti bahwa setiap perubahan positif yang dilakukan oleh para advokat sekarang akan diperbesar. Untuk mencapai pertumbuhan yang diharapkan, akuakultur Asia harus memperhatikan kesejahteraan ikan, jika hanya untuk memerangi jumlah kematian ikan yang tinggi yang sebaliknya akan menghambat ekspansi industri, sehingga ada motif ekonomi bagi petani dan produsen untuk menyediakan kondisi yang lebih sehat bagi ikan mereka. Petani di wilayah tersebut terbuka untuk pendidikan dan pelatihan jika disediakan. Dengan banyaknya organisasi kesejahteraan hewan yang sudah bekerja atau merencanakan pengerjaan terhadap kesejahteraan ikan di wilayah tersebut, ada potensi terjadinya kerjasama antar organisasi. Tumbuhnya minat terhadap kesejahteraan hewan di kalangan pemuda Asia mengundang upaya pendidikan publik dari para advokat hewan lokal. Data spesifik tentang ikan dinilai masih kurang, tetapi studi tentang produk babi menunjukkan bahwa konsumen sering kali bersedia membayar mahal untuk produk hewan yang dibesarkan secara manusiawi, jika saja lembaga sertifikasi mampu untuk mendapatkan kredibilitas.
Pengerjaan tentang kesejahteraan untuk ikan budidaya ini harus dilakukan dengan sensitivitas tinggi dan dengan mempertimbangkan keunikan budaya, situasi peraturan, lanskap akuakultur, dan nilai-nilai sosial di masing-masing negara, dan kemungkinan besar upaya advokasi lokal akan memberikan dampak terbaik. Para pemimpin advokasi mengharapkan usaha ini dapat meningkatkan kesejahteraan ikan budidaya di Asia agar menjadi perjalanan panjang. Hal ini akan membutuhkan para advokat untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan para pemimpin industri, yang akan memakan waktu. Sangat penting untuk memulainya dari sekarang.