Polusi Plastik Di Segitiga Terumbu Karang
[This post has been translated from English to Indonesian. You can find the original post here. This translation was made possible with support from World Animal Protection courtesy of a grant from the Open Philanthropy Project.]
Indonesia terletak di dalam area yang dinamakan “Segitiga Terumbu Karang”, sebuah wilayah perairan di bagian barat Samudra Pasifik yang kaya akan keanekaragaman hayati. Di antara banyaknya spesies yang menghuni perairan tersebut, ada hiu paus dan pari manta. Makhluk menakjubkan ini menarik minat wisatawan dan membawa keuntungan ekonomi bagi negara. Maka dari itu, melindungi mereka adalah hal yang sangat penting baik untuk kepentingan mereka sendiri ataupun untuk orang-orang yang mata pencahariannya bergantung pada kehadiran mereka.
Sayangnya, Indonesia tidak hanya dikenal karena kekayaan ekosistem lautnya, tetapi juga dikenal sebagai penghasil sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Pari manta dan hiu paus, yang terancam secara global dan menghadapi kerusakan akibat industri perikanan, cukup rentan terhadap mikroplastik yang membanjiri tempat makan mereka. Sebagai filter feeder atau hewan penyaring, makhluk-makhluk ini makan dengan membuka mulut mereka untuk menyerap air laut, dan kemudian mereka akan menyaring makanan mereka. Namun, di perairan yang tercemar, mereka bisa dengan tidak sengaja memakan hal lain selain plankton.
Dalam studi ini, penulis menemukan berapa banyak sampah plastik yang dapat dikonsumsi hewan-hewan ini ketika mereka makan. Cara penulis mencari tahu adalah dengan memeriksa berapa banyak plastik yang mengapung di air yang merupakan tempat makan mereka di tiga lokasi, selama periode dua tahun dari Januari 2016 hingga Februari 2018. Mereka juga mencari plastik di muntahan dan kotoran mereka yang dikumpulkan dengan bantuan penyelam lokal profesional.
Arus laut, cuaca, dan perubahan musim juga memengaruhi tingkat polusi mikroplastik. Sebagai contohnya, penulis mencatat bahwa sungai yang meluap oleh hujan monsun membawa limbah dari tempat pembuangan terdekat ke laut. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil sampel selama musim hujan dan kemarau serta menghindari kondisi berangin. Mereka mengumpulkan sampel menggunakan jaring yang ditarik oleh perenang dan perahu. Untuk meminimalisir gangguan pada hewan, para peneliti memastikan perahu mereka berjarak setidaknya 15 meter dari para hewan. Demikian pula, para perenang menjaga jarak 3 meter dari hewan saat mereka memberi makan.
Dari hasil penelitian, hanya terdapat 11% jaring-jaring yang bebas plastik. Satu sampel muntahan ikan pari manta mengandung plastik sebanyak 66 buah. Studi ini menemukan lebih banyak sampah plastik di air selama musim hujan –dari 2 hingga hampir 45 kali lebih banyak, tergantung pada lokasinya. Para penulis menyarankan bahwa tren musiman ini mungkin menunjukkan bahwa polusi mikroplastik berasal dari daerah lokal, karena polusi dari sungai-sungai di Cina memiliki jumlah paling tinggi selama musim kemarau.
Data dari satu lokasi menunjukkan bahwa selama musim hujan, pari manta dapat mengkonsumsi antara 110 sampai 980 gram mikroplastik untuk setiap 1.000 gram plankton. Angka ini tampaknya sangat tinggi, tetapi penulis mengamati bahwa rasio plastik terhadap plankton yang ditemukan dalam penelitian mereka lebih rendah dari jumlah perkiraan dari Laut Mediterania. Selain itu, mereka menyarankan bahwa jumlah mereka lebih rendah daripada tingkat plastik, karena penelitian ini hanya melihat plastik yang mengambang bebas dan bukan plastik yang telah dimakan plankton.
Meskipun studi ini memberikan gambaran tentang berapa banyak plastik yang mungkin dikonsumsi oleh pari manta dan hiu paus, kami tidak dapat menarik kesimpulan tentang bagaimana hal ini akan mempengaruhi mereka. Kehadiran plastik dalam muntahan dan kotoran mereka menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut dapat mengeluarkan zat-zat ini dari tubuh mereka, yang merupakan kabar gembira. Tetapi masih tidak jelas efek apa yang akan diberikan oleh bahan kimia beracun yang berada dalam plastik saat melewati tubuh mereka, atau bagaimana hal ini dapat mempengaruhi mereka dan keturunannya. Penulis juga mencatat bahwa sedotan plastik tampaknya telah membunuh setidaknya satu hiu paus.
Untuk melindungi satwa liar di Segitiga Terumbu Karang, penulis menyorot kepentingan praktik yang lebih baik seputar pembuangan limbah – terutama menjelang musim hujan, mengingat peran besar sungai terhadap pembawaan polusi plastik ke laut. Mereka menyarankan agar kampanye pendidikan yang menampilkan spesies hebat seperti pari manta dan hiu paus dapat membantu mereka untuk mendapatkan dukungan publik demi peraturan yang lebih baik tentang penggunaan dan pembuangan plastik.
Secara lebih luas, studi ini mengingatkan kita bahwa walaupun tampak tak terbatas, lautan sebenarnya sangat rapuh. Sampah plastik yang kita hasilkan merusak air dan merugikan makhluk-makhluk luar biasa yang menyebut lautan sebagai rumah mereka. Lonjakan kesadaran tentang bahaya plastik adalah langkah ke arah yang benar, tetapi perjalanan kita masih panjang.