Media Sosial Dan Gerakan Perlindungan Satwa Indonesia
[This post has been translated from English to Indonesian. You can find the original post here. This translation was made possible with support from World Animal Protection courtesy of a grant from the Open Philanthropy Project.]
Artikel ini mengkaji tentang peran media sosial dalam gerakan kontemporer perlindungan hewan di Indonesia. Untuk memberi konteks pada topik, penulis menguraikan sejarah perlindungan hewan, yang dimulai pada abad ke-19 ketika banyak gerakan keadilan sosial mendapatkan momentum. Kemudian, makalah ini beralih ke perkembangan gerakan di Indonesia. Sampai pada hari ini, artikel tersebut melihat bagaimana empat organisasi perlindungan hewan di Indonesia menggunakan media sosial untuk membangun gerakan tersebut.
Penulis menyoroti keragaman tujuan pada gerakan secara umum, baik dalam perkembangannya dari waktu ke waktu maupun secara sinkron. Misalnya, gerakan perlindungan hewan awal lebih fokus pada pencegahan olahraga darah (yang berhubungan dengan pembunuhan hewan), sedangkan pada abad ke-20, kemajuan teknologi medis telah mengalihkan perhatian ke penderitaan hewan yang digunakan sebagai bahan uji coba ilmiah. Kita juga bisa membedakan antara gerakan hak-hak hewan dan gerakan pembebasan hewan, misalnya, yang sezaman tetapi berbeda tujuannya.
Di Indonesia, gerakan perlindungan hewan muncul pada 1970-an, lahir dari perkumpulan pecinta alam dalam sebuah kampus yang bergerak di bidang konservasi. Organisasi nirlaba seperti Borneo Orangutan Foundation dan ProFauna (masing-masing didirikan pada tahun 1991 dan 1994) mulai mengedepankan isu-isu tertentu yang berkaitan dengan konservasi secara lebih spesifik, seperti spesies yang terancam punah. Saat ini, gerakan perlindungan hewan Indonesia telah menyatu dengan kesamaan visi dan berfokus pada kesejahteraan, berkonsentrasi pada penyelamatan hewan dari eksploitasi dan kekejaman, serta meningkatkan kesadaran publik. Hal ini berarti bahwa gerakan ini telah digolongkan dengan jumlah debat ideologis yang lebih sedikit dibandingkan dengan gerakan perlindungan hewan yang lebih luas.
Memasuki abad ke-21, media sosial semakin sering digunakan dalam aktivisme, termasuk Indonesia. Platform media sosial telah mengurangi adanya hierarki, memfasilitasi hubungan global, dan mempercepat laju komunikasi bagi kelompok advokasi hewan. Namun, penulis mencatat bahwa koneksi online mungkin lebih lemah daripada yang dijalankan secara langsung. Untuk gerakan perlindungan hewan, media sosial menjadi sebuah alat yang penting tetapi bukan berarti tidak memiliki kekurangan.
Artikel ini menyoroti empat organisasi yang menjadi perwakilan untuk gerakan perlindungan hewan kontemporer di Indonesia: ProFauna, Garda Satwa Indonesia, Animal Friend Jogja, dan Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Membahas bagaimana organisasi-organisasi ini menggunakan media sosial, penulis mengacu pada sebuah kerangka dalam tiga elemen yang terlibat dalam pembangunan gerakan tersebut: mengorganisir jaringan, menciptakan identitas kolektif, dan memobilisasi komunitas untuk tujuan yang konkret.
Yang tertua dari empat organisasi, ProFauna, memiliki pendekatan media sosial yang sedikit berbeda dari yang lain, mereka lebih menekankan tindakan daripada interaksi online seperti jumlah likes dan pengikut. Untuk tiga organisasi lainnya, media sosial dijadikan sebagai titik masuk dan cara untuk terlibat dengan gerakan tersebut. Dalam semua kasus, media sosial digunakan untuk menyatukan kelompok mereka, menciptakan koneksi, dan membangun identitas.
Aspek kunci dari media sosial adalah dapat menurunkan hambatan untuk berpartisipasi dalam gerakan. Mengikuti halaman Twitter atau Facebook sebuah organisasi adalah cara mudah untuk terlibat dalam suatu gerakan, misalnya. ProFauna membedakan antara pendukung, yang partisipasinya terbatas pada keterlibatan online; dan “aktivis” yang berpartisipasi dalam program-program ProFauna. Meskipun dukungan dan aktivisme terlihat berbeda, mereka juga dapat dilihat sebagai tahapan-tahapan dalam sebuah proses. Artikel ini mengutip tangga partisipasi dari keterlibatan dalam gerakan sosial, yang anak tangganya bergerak ke atas dari perspektif gabungan, melalui kolaborasi, dan menjadi aksi kolektif. Seperti kerikil dan longsoran salju, “kontribusi mikro” media sosial dapat membangun perubahan dalam skala besar: demonstrasi menentang sirkus lumba-lumba di Jakarta, misalnya, mendapatkan banyak dukungan online.
Dengan jangkauan secara global, media sosial juga dapat memainkan peran penting dalam membangun jaringan dan mendatangkan sumber daya. Dipelopori oleh Animal Friends Jogja, kampanye Dogs Are Not Food pertama kali diperluas melalui kolaborasi dengan JAAN, dan kemudian bekerja sama dengan organisasi global termasuk Humane Society International, Four Paws, dan Animals Asia. Dukungan dari selebriti internasional seperti komedian asal Inggris Ricky Gervais semakin meningkatkan profil kampanye, dan sekarang sangat berpengaruh di Indonesia.
Melalui analisis gerakan perlindungan hewan yang bersifat kontemporer di Indonesia, artikel ini menunjukkan pentingnya media sosial sebagai salah satu cara untuk membangun gerakan tersebut. Studi kasus ini menunjukkan bahwa platform online dapat menumbuhkan koneksi dan identitas bersama, yang dapat diubah menjadi sebuah pergerakan. Mereka juga dapat menawarkan aliran pendapatan lain untuk organisasi: pemasaran dan penjualan produk melalui media sosial menambah sumber pendanaan yang lebih tradisional seperti sumbangan.Sebagai advokat, banyak dari kita telah mendengar istilah “aktivisme kursi malas,” dan itu adalah salah satu hal yang memiliki banyak bobot negatif. Kita tahu bahwa gerakan keadilan sosial tidak hanya membutuhkan “rasa suka” dari kita: mereka membutuhkan kita untuk lebih aktif, dalam berbagai cara. Meskipun artikel ini tidak menyangkal pentingnya tindakan, artikel ini menyoroti fakta bahwa keterlibatan berada di dalam sebuah spektrum. Media sosial dapat memainkan peran penting dalam membantu membangun gerakan perlindungan hewan di tempat-tempat yang masih memiliki banyak ruang untuk berkembang; Untuk itu, interaksi singkat secara online dapat berubah menjadi momentum yang lebih besar. Tentunya, kita membutuhkan tindakan offline atau secara langsung, tetapi jangan merendahkan media sosial, baik sebagai alat untuk memulai sebuah pergerakan ataupun sebagai cara untuk menciptakan gerakan perlindungan hewan yang lebih mudah diakses dan inklusif dalam skala global.